Aku melangkah masuk kamar sambil bersungut. Melihat kamarku yang seperti kapal pecah ini, Mama langsung membuyarkan niatku untuk bermain gitar di teras. Yayaya, merapikan kamar. Itu agendaku hari ini. Memang, sejak aku lulus dari SD, aku belum sempat merapikan kamar. Alasanku pun bermacam-macam juga, ada PR menumpuk lah, kerja kelompok lah, dan macam-macam alasan kacang lainnya. Masih mendumal dan merutuk, aku jadi berpikir, mengapa tak kurapikan kamarku saat libur panjang kelulusan dulu? Sambil terus mendumal, aku mulai merapikan kamar. Aku mulai dari meja rias. Mula-mula aku pindahkan semua barang di meja rias dan ku-lap semua sisi meja rias. Saat melongok ke belakang meja rias, aku melihat banyak sekali debu yang menempel di bagian belakang. Melihat seperti itu, aku tak tahan juga untuk segera merapikannya, walaupun sesekali aku bersin karena tak tahan dengan debu tersebut.
Setelah urusan dengan debu itu selesai, aku memulai untuk membersihkan almari meja belajarku. Kumulai dengan mengeluarkan isi almari, dan kemudian aku pilah-pilah bukunya. Buku-buku yang tidak penting akan kumasukkan ke dalam kardus yang tadi susah payah aku cari-cari di gudang. Oke, memang tidak ada gudang di rumahku. Tetapi boleh kan aku memanggil ruangan kosong bekas dapur yang sekarang di sulap oleh Emak, yaitu seorang janda setengah baya yang sudah lama juga bekerja di rumahku, menjadi gudang. Intinya, aku mengambil kardus di ruangan itu. Sambil terus memilah-milah, aku menyetel radio di kamarku. Kebetulan, saat itu sedang diputar lagu dari Sindentosca, Kepompong. Tak sengaja pula waktu lagu itu diputar, aku menemukan buku tahunan SD-ku. Saat itu aku jadi teringat teman-teman kecilku.
Persahabatan bagai kepompong
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong
Hal yang tak mudah berubah jadi indah …
Itu tadi penggalan lirik dari lagu Kepompong. Memang, lirik lagu itu benar. Menurut definisiku sendiri, persahabatan memang lirik kepompong. Dari kita yang bukan apa-apa, akan berubah menjadi seekor kupu-kupu yang cantik. Dari situ aku mengartikan bahwa persahabatan itu bisa sangat mempengaruhi kita, baik positif maupun negatif. Lalu, dengan bantuan sahabat-sahabat kita lah, hal yang menurut kita sangat sulit untuk dilakukan menjadi sangat mudah. Ya, semua itu memang proses alam seorang manusia ketika memiliki orang yang sangat di percayai, atau bisa disebut …Sahabat…
Tahun 2006 …
Siang itu aku sedang mengulet di kamarku ketika ada telepon dari Mama. Sejenak kebiarkan saja telepon bordering, kupikir akan diangkat oleh Mbak Tari yang memang sudah lama bekerja dirumahku. Bahkan sudah kuanggap kakakku sendiri. Ternyata Mbak Tari tidak mengangkat teleponnya, dengan setengah berlari aku menuju ke letak telepon di samping wastafel di dekat kamar Mamaku.
“Halo?”
“Halo ,Ditta?”
“Iya, ma. Kenapa?” tanyaku.
“Mama udah telepon Pak Kepala Sekolah, beliau mau mindahin kamu ke kelas lain,”jawab Mama tampak bersemangat.
“Pindah?” tanyaku dengan masih keheranan.
“Iya, habis pihak sekolah nggak mau ngganti wali kelas, sedang mama nggak suka cara wali kelasmu membeda-bedakan murid,” jawab Mama, tegas.
“Terus temen-temenku?”
“Ya kan kamu masih bisa ketemu, lagian kamu kan nggak pindah sekolah. Cuma pindah kelas aja. Oh ya, kamu mau pindah ke kelas apa?”
“Hmm.. terserah mama aja deh,” kataku sambil meletakkan gagang telepon. Saat itu juga aku berpikir, memang nggak akan berpisah sama teman-teman lamaku. Tetapi berpisah kelas? Teman baru? Sedang tidak ada anak dari luar kelas yang aku kenal saat itu, kecuali sepupuku yang ada di kelas C. Ah, memikirkannya saja aku jadi pusing.
***
Tak terasa lewat sudah beberapa hari. Dan sekarang aku sedang duduk diam dengan balutan jaket merah mudaku, di dalam kelas di ujung gedung sekolah. Ya, disinilah aku. Kelas E, kelas yang Mama pilihkan untukku. Beberapa anak yang datang pagi sempat menyapaku ketika aku masuk ke kelas ini. Yang paling aku ingat adalah Fika, gadis cantik yang sedang menyapu kelas ketika aku masuk tadi. Dan beberapa anak yang datang agak siang tampak keheranan melihat aku. Mungkin mereka mengira aku salah masuk kelas.
Ibu Guru yang menjadi wali kelas disini adalah Ibu Sukarti, atau biasa kami panggil Bu Karti. Ibu satu ini adalah guru yang menurut kami cocok untuk masuk daftar guru paling killer, atau menyeramkan. Terbukti, saat aku masuk kelas langsung saja aku disodori soal matematika yang saat itu belum diajarkan dikelasku dulu. Beberapa anak sudah mulai aku kenali. Ada resna, temanku yang kebetulan satu tempat les Bahasa Inggris. Lalu ada Fitri, yang ternyata rumahnya tak jauh dari rumahku. Lalu ada Aziz, Meili, Ita, Fika, Zaki, dan dua teman yang dulu ikut ekstrakulikuler Qiroah sepertiku, Vivi dan Lintang.
Lama aku disini, tetapi tak kunjung mempunyai teman dekat. Beberapa memang menunjukkan sikap yang baik terhadapku, namun ada juga beberapa yang melihatku hanya sebelah mata. Aku banyak berteman dengan anak-anak disini sampai kemudian aku temukan dua orang yang benar-benar bisa kusebut sahabat.
“Hmm, res, aku duduk sama kamu ya?” kataku sambil memandang tempat duduk kosong disamping tempat duduk Resna. Resna yang sedang mengobrol dengan Vivi dan Lintang kemudian menoleh ke arahku dan berkata, “Oh iya, ngga papa,” kata Resna sambil kembali mengobrol dengan Vivi dan Lintang. Aku pun duduk disebelahnya dan hanya diam menatap teman-teman yang lain, karena saat itu aku belum mempunyai teman. Sebenarnya aku bosan hanya duduk diam sambil menunggu bel masuk berbunyi. Tetapi masa aku ikut mereka untuk mengobrol? Kok rasanya aneh? Hmm, sudahlah, tak ada salahnya kucoba, ujarku dalam hati.
“Hey… Kalian ngomongin apa sih?” tanyaku sambil tersenyum menatap mereka bertiga.
“Hmm ,ngomongin anak baru. Hehe, kamu udah tau ada anak baru di kelas A?” jawab Vivi antusias.
“Anaknya cantik lho, udah liat?” sambung Lintang. Akhirnya aku terhanyut dalam obrolan itu hingga saat bel berbunyi.
***
Hari-hari dikelas baruku ini pun berlalu. Aku masih tetap berteman dengan mereka bertiga, Lintang, Resna, dan Vivi. Kami terus berteman, hingga akhirnya ada sesuatu yang aneh pada Resna. Dia menjauh dan terus menjauh. Seperti bukan Resna yang dulu. Tak lama kemudian, tinggal aku, Vivi, dan Lintang yang tersisa. Kami yang saat itu masih polos, tak menyadari perubahan Resna.
Hingga kami naik kelas pun, kami tetap berteman. Dulu kami mempunyai sebuah buku yang berisi ide-ide gila. Cerita-cerita, gambaran, maupun berbagai gambar gedung-gedung yang kami impikan akan terwujud ketika kami dewasa nanti. Kami selalu bertiga. Pergi ke kantin, sholat di musholla, jajan di timur sekolah, semuanya kami lakukan bersama. Tak jarang kami main ke rumah satu sama lain. Yang paling kuingat adalah saat aku terkena sakit cacar.
Saat itu, aku terkena sakit cacar. Sehingga tidak dapat masuk sekolah dalam waktu yang lama. Vivi dan Lintang datang menjengukku sepulang sekolah. Saat itu bulan ramadhan. Mereka main sampai hampir ashar. Mereka menemaniku makan siang, padahal saat itu mereka sedang berpuasa. Mereka juga tak terganggu walaupun saat itu aku sedang terkena penyakit yang menular. Kupikir mereka pernah terkena cacar juga, jadi aku santai saja mereka bermain denganku. Belakangan setelah aku masuk sekolah, aku baru tahu jika mereka belum pernah terkena cacar. Saat itu aku berpikir bahwa mereka benar-benar menyayangiku karena diriku sendiri. Bukan karena apapun. Dan aku menyadari bahwa mereka menganggapku sahabat.
***
Itu tadi penggalan ceritaku di kelas yang aku tempati selama dua tahun di SD. Masih di dalam kamarku yang berantakan ini, aku membolak-balik halaman buku tahunan SD-ku. Ah, kelas B ..kelas dimana aku belajar selama hampir empat tahun. Ya, akupun memiliki sahabat juga disana. Kalau tak bisa disebut sahabat, sebutlah kami ini teman dekat …
Tahun 2001…
Kulihat mama masih ada di depan ruang kelasku. Mengobrol dengan ibu-ibu yang juga mengantar anaknya ke sekolah. Aku masih dengan seragam TK-ku, terusan lengan pendek putih dengan rompi kotak-kotak. Juga tak lupa kuncir dua tinggi di sisi kanan dan kiri rambutku. Bu Guru di depan kelas itu masih memperkenalkan diri dan mengajak kami menyanyi seperti saat kami di TK. Aku duduk dengan Ayu, anak yang tadi diantar oleh Mamanya setelah aku duluan duduk di bangku nomor tiga itu. Dan di depanku ada dua orang anak yang ternyata telah berteman sejak TK, Maya dan Della.
Di hari pertama itu, Bu Rini, Ibu Guru yang menjadi wali kelasku, menyuruh kami untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Dengan santainya, aku mengacungkan jari, tanda aku ingin maju untuk memperkenalkan diri. Di depan kelas, dengan suara yang lantang, aku memperkenalkan diriku. Nama panjang, nama panggilan, sekolah asal, dan beberapa hobi juga kusebutkan. Bu Rini menanyakan berbagai pertanyaan yang langsung kujawab dengan antusias. Setelah aku maju tadi, ternyata banyak anak yang juga tertarik untuk maju.
Di hari kedua, Mama sudah tidak menungguiku. Sebab, Mama harus pergi ke kantor hari ini. Ternyata, dihari kedua ini, Bu Rini mengacak tempat duduk kami. Aku tetap sebangku dengan Ayu, namun tempat duduk kami pindah ke dekat jendela. Di belakang kami ada dua orang anak laki-laki, yang kami kenali bernama Tyo dan Alga. Saat pelajaran, kami sering bermain-main dengan mereka. Bu Rini pun kadang melirik kami dengan tatapan tegas dan biasanya kamipun langsung diam begitu beliau menatap kami.
Saat jam istirahat berbunyi, aku keluar kelas sendirian. Tak tahu Ayu pergi kemana, kuputuskan untuk berjalan menyusuri lorong di depan kelasku. Tak lama, kujumpai kantin. Di situ, banyak anak-anak yang sedang jajan. Hari ini Mama belum memberiku uang saku, juga belum membawakanku minum. Aku hanya memandang kantin dengan penuh harap. Aku benar-benar haus saat itu. Sangat, sangat haus. Karena terlalu sibuk melamun, aku tak menyadari ada orang yang men dekatiku.
“Hey! Kamu nggak jajan?” tanya anak itu. Aku masih mengumpulkan data-data di otakku ketika akhirnya menjawab, “Nggak. Aku nggak bawa uang.”
“Emang nggak haus?” tanya anak itu. Ah, aku masih terus mengingat siapa dia. Hmm, hmm, hmm, Ya! Dia Maya. Anak yang duduk didepanku kemarin.
“Haus sih, tapi aku nggak bawa minum,” jawabku.
“Yaudah deh, nih kubagi uang jajanku. Aku tadi dibawain seribu sama Mama, nih buat kamu lima ratus,” jawabnya polos sambil membagi recehan uang lima ratus dikantong bajunya.
“Eh, bener buat aku?”
“Iya, nggak apa-apa kok,” katanya sambil melenggang pergi kearah Della dan beberapa teman yang lain.
Sejak saat itu, kami terus berteman dan berteman. Aku yang saat itu masih polos tak menyadari bahwa pertemanan kami ini disebut persahabatan. Kami hanya terus berteman tanpa pernah berpikir akan bagaimana kami ke depannya. Hingga akhirnya aku harus meninggalkan sahabat-sahabatku dikelas ini dan tanpa pernah memikirkan bagaimana mereka.
***
Aku tersenyum mengingat kisah tentang sahabat-sahabatku ini. Dulu, aku, Vivi, dan Lintang mempunyai mimpi agar kami bisa satu sekolah saat SMP nanti. Tapi ternyata mimpi kami tak terwujud. Vivi di SMPN 8, aku di SMPN 9, sementara Lintang di SMPN 15. Justru di sekolahku sekarang inilah, aku bertemu kembali dengan sahabat kecilku. Tanpa kami tahu, takdir yang menemukan kami dikelas yang sama. Hingga sekarang, kami terus bersama dalam suka duka yang bercampur aduk.
Aku tahu, ada masanya kami akan bertemu dan berpisah. Seperti saat perpisahan SD dan kami saling menangis haru, memeluk dan berjanji tak akan melupakan satu sama lain. Itu adalah perpisahan. Setelah perpisahan itulah kita akan menemukan hal baru. Sahabat baru yang mungkin pernah kita kenal ataupun belum. Hal-hal baru yang mungkin akan menjadikan pelajaran untuk kita menjadi lebih kuat. Dan semuanya itu tak akan terulang seperti Da Capo, atau pengulangan.
^^NB: Hahaha, itu tadi cerpen yang kubuat untuk tugas Bahasa Indonesia. Ngga mirip cerpen ya? Nggak papa deh, udah terlanjur dikumpul. Yang mau baca boleh lhoo, Enjoy it :)
0 komentar:
Posting Komentar