Aku mengalami banyak kemajuan sejak mengenalmu. Kemajuan yang kemudian akan berakhir kemunduran. Kau tentu mengerti, bagaimana pesonamu bagiku. Bukan, kau bukan indah yang selama ini kulihat. Kau, indah yang selama ini kurasa. Kadang hanya menatapmu aku mampu diam membisu. Terpaku. Semua yang berawal dari kebiasaan ini kusebut kebetulan. Kebetulan aku mengenalmu dan kebetulan kau berkenalan denganku. Kau yang memang telah memiliki rasa yang bukan hanya secuil saja untuknya, kemudian membuatku mencintaimu. Aku, mencintai bayanganmu. Lantas aku bingung. Harus kuapakan rasa yang baru saja tumbuh itu? Apakah memangkasnya sampai ke akar-akar? Tidak, aku tak mampu memangkasnya. Tuhan memberikannya untukku. Lama aku hanya terdiam, menikmati semua rasa yang ternyata terus berkembang. Dari secuil, kemudian segenggam, dan terus terus membesar. Semua kusimpan dalam diam.
Aku pun kemudian hidup dalam kebohongan. Mengaku membencimu agar semua rasa tak terbongkar. Tetapi membencimu tidak membuahkan hasil yang bagus untukku. Aku masih terus mencintaimu. Menatap diam, terpaku sendirian saat kulihat wajahnya tersenyum senang karenamu. Luka. Hal yang menyakitkan itu, kemudian kusebut luka.
Aku kerap terluka. Itu perkataan klise orang yang terus meratapi nasibnya sepertiku. Mencintai bayangan. Bah! Apapula bayangan itu?
Aku tak akan menceramahi panjang-lebar tentang bagaimana luka itu dapat sembuh atau bagaimana kau dapat mengatasi luka yang ada. Lukaku, sembuh seiring berjalannya waktu. Ya, berjalannya waktu. Aku menikmati setiap perih yang ada. Hingga aku lelah untuk terus tersiksa. Nyaris kuteteskan air mata saat menulis ini. Tetapi semua tertahan. Air mataku telah mampu menahan dirinya sendiri. Aku lelah.
0 komentar:
Posting Komentar